Monday, March 30, 2009

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DEMAM TYPOID

3 comments

A. Tinjauan Teoritis Demam Typoid

1. Pengertian
“Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran“. (Mansjoer, 2000: 432).

“Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum. Disebabkan salmonella thypi, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan kesadaran”. (Soegijanto, 2002: 1).

“Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di selaput lendir usus, dan jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu jaringan di seluruh tubuh”. (Tambayong, 2000: 143).

“Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi salmonella typhi”. ( Ovedoff, 2002: 514).


2. Etiologi
Menurut Lewis, Et al (2000: 192) “Penyakit demam typoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi”.

Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari demam typoid adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis bioseratife para typhi B, salmonella enteretidis bioseratife C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama salmonella paratyphi A, salmonella schottmueller dan salmonella hirscfeldii.

Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang penyebab dari demam typoid adalah bakteri Salmonella typhi.


3. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah berada di dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh darah limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut di keluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimia nya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam typoid. (Suriadi, 2001: 281).

Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjut zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.


4. Tanda dan Gejala
Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda dan gejala demam typoid adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan muntah.

Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Mansjoer, 1999: 422).

Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:

a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.

b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.

c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan, pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.

d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.


5. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat terjadi pada usus halus, umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal diantaranya adalah:

a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma. Pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus halus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.

Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain, terjadi karena infeksi sekunder yaitu Bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan respirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.


6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang diperiksa adalah:
a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).
b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.
c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.
d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.
e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A) meningkat selama minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang negatif semua bisa mungkin terjadi pada tes widal).

Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan uji titer widal empat lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam typoid.

Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan Laboratorium melalui:
1. Pemeriksaan leukosit
Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan jumlah leukosit ini tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.

3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid.

4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pasien demam typoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella typhi dan juga para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid.

Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai > 1/200 atau peningkatan > 4 kali antara masa akut dan konvalensens mengarah kepada demam typoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman salmonella typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah klien. (Mansjoer, 2000: 433).

Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman).

c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal
Faktor yang berhubungan dengan klien:
a. Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.

b. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

c. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.

d. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

e. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

f. Infeksi klien dengan klinis/ subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

g. Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella dimasa lalu.


7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Copstead, et al (2000: 170) “Pilihan pengobatan mengatasi kuman Salmonella typhi yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif lain yaitu trimetroprin, sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol”.

“Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu di istirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam typoid.

3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:

a. Kloramfenikol, dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 kali 250 mg selama 5 hari kemudian.

b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.

c. Ampicilin dan Amoxilin, efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah klien demam typoid dengan leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan, digunakan sampai 7 hari bebas demam.

d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol), efektifitas nya kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.

e. Sepalosporin generasi ketiga, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sepalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif untuk demam typoid.

f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.

Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoid juga diberikan obat-obat simtomatik antara lain:
a. Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena tidak berguna.

b. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam pengobatan selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien menjadi baik, suhu badan cepat turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps”. (Sjaifoellah, 1996: 440).


8. Prognosis
“Prognosis demam typoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7 %”. (Sjaifoellah, 1996: 441).

Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 236), umunya prognosis demam typoid pada anak baik, asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti:
a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris continue.
b. Kesadaran sangat menurun (supor, koma atau delirium).
c. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis perforasi.


B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Demam Typoid

1. Pengkajian Keperawatan Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:

a. Aktivitas dan Istirahat.
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas, pembatasan aktivitas/ kerja sehubungan dengan proses penyakit.

b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi relatif, hipotensi termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk, kering, lidah kotor.

c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan.
Tanda: Menolak, perhatian menyempit.

d. Eliminasi
Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada konstipasi/adanya peristaltik.

e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.
Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk, membran mukosa pucat.

f. Hygiene
Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.

g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.
Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.

h. Keamanan
Gejala: Peningkatan suhu tubuh 38C-40C, penglihatan kabur, gangguan mental delirium/ psikosis.

i. Interaksi Sosial
Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan kondisi yang di alami.

j. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.


2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2001-2002) yaitu:

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat ditempat tidur/ tirah baring.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat diare.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.


3. Perencanaan Keperawatan

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

Intervensi:
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses inflamasi.

2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam melaksanakan upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada daerah frontal, lipat paha dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dengan perbanyak minum.
Rasional: Membantu mengurangi demam.

3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3 jam.
Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.

4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.
Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

6) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.
Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.

5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.
Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi basil salmonella typhi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.

Intervensi:
1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa makanan, minuman, ganti baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut, genetalia dan kuku.
Rasional: Pemberian bantuan pada klien dapat menghindari timbulnya komplikasi yang berhubungan dengan pergerakan yang melanggar program tirah baring.

2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.
Rasional: Partisipasi keluarga sangat penting untuk mempermudah proses keperawatan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses penyembuhan
Rasional: Istirahat menurunkan mobilitas usus juga menurunkan laju metabolisme dan infeksi.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

Intervensi:
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.
Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan berat ringannya kekurangan cairan.

2) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.

3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.
Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.

4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.
Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.

5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.
Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.

Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat menentukan intervensi yang sesuai dan efektif.

2) Monitor adanya penurunan berat badan.
Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500 gr/minggu.

3) Monitor lingkungan selama makan.
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.

4) Monitor mual dan muntah.
Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.

5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.
Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk mempercepat proses penyembuhan.

6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.

7) Berikan makanan yang terpilih.
Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.

8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.

Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala diare.
Rasional: Untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan.

2) Identifikasi faktor penyebab diare.
Rasional: Mengetahui penyebab diare sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.

3) Observasi turgor kulit secara rutin.
Rasional: Turgor kulit jelek dapat menggambarkan keadaan klien.

4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.
Rasional: Untuk membantu dalam proses penyembuhan.

5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika memungkinkan.
Rasional: Makanan rendah serat dan tinggi protein dapat membantu mengatasi diare.

6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.
Rasional: Untuk melanjutkan intervensi dan pemberian obat berikutnya.

7) Evaluasi intake makanan yang masuk.
Rasional: Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien.

8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.
Rasional: Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.
Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/ terjadi komplikasi.

2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.
Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor yang memperberat (seperti stress, tidak toleran terhadap makanan) atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi, serta membantu dalam membuat diagnosis dan kebutuhan terapi.

3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.
Rasional: Untuk menghilang nyeri.

4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.
Rasional: Analgetik dapat membantu menurunkan nyeri.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.
Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.

2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.
Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab, tanda dan gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.

3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.
Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.

4. Evaluasi
Evaluasi adalah usaha untuk menilai keefektifan asuhan keperawatan yang telah diberikan kepada klien dengan demam typoid.

Hasil evaluasi yang diharapkan adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Evaluasi:
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36,6-37,5 C).
2) Klien tidak demam lagi.
3) Klien tidak gelisah.
4) Turgor kulit baik.
5) Kesadaran compos mentis.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Evaluasi:
1) Kebutuhan mandi, makan, minum, eleminasi, ganti pakaian, kebersihan mulut, rambut, kuku dan genetalia terpenuhi.
2) Klien berpartisipasi dalam tirah baring.
3) Klien mobilisasi secara bertahap.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Evaluasi:
1) Masukan dan haluaran cairan seimbang.
2) Turgor kulit baik, membran mukosa lembab.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Evaluasi:
1) Klien dapat menghabiskan makanan yang disediakan.
2) Klien tidak lagi mual, dan muntah.
3) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai saran dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada usus halus.
Evaluasi:
1) Tidak mengalami diare.
2) Turgor kulit baik.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Evaluasi:
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat secara adekuat.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Evaluasi:
Keluarga klien mengerti tentang penyakit anaknya.
Selengkapnya...

Thursday, March 19, 2009

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUMOR OTAK

1 comments

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak.


2. Etiologi
a. Riwayat trauma kepala
b. Faktor genetik
c. Paparan bahan kimia yang bersifat carsinogenik
d. Virus tertentu


3. Patofisiologi
Tumor otak terjadi karena adanya proliferasi atau pertumbuhan sel abnormal secara sangat cepat pada daerah central nervous system (CNS). Sel ini akan terus berkembang mendesak jaringan otak yang sehat di sekitarnya, mengakibatkan terjadi gangguan neurologis (gangguan fokal akibat tumor dan peningkatan tekanan intrakranial).


4. Klasifikasi
a. Berdasarkan jenis tumor
1) Jinak
- Acoustic neuroma
- Meningioma
- Pituitary adenoma
- Astrocytoma (grade I)

2) Malignant
- Astrocytoma (grade 2,3,4)
- Oligodendroglioma
- Apendymoma

b. Berdasarkan lokasi
1) Tumor intradural
a) Ekstramedular
- Cleurofibroma
- Meningioma

b) Intramedular
- Apendymoma
- Astrocytoma
- Oligodendroglioma
- Hemangioblastoma

2) Tumor ekstradural
Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, prostal, tiroid, paru–paru, ginjal dan lambung.


5. Manifestasi Klinis
a. Nyeri kepala
Nyeri bersifat dalam, terus – menerus, tumpul dan kadang – kadang bersifat hebat sekali. Biasanya paling hebat pada pagi hari dan diperberat saat beraktifitas, yang biasanya menyebabkan peningkatan TIK yaitu batuk, membungkuk dan mengejan.

b. Nausea dan muntah
Akibat rangsangan pada medula oblongata

c. Papiledema
Stasis vena menimbulkan pembengkakan papila saraf optikus.


B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identifikasi faktor resiko paparan dengan radiasi atau bahan – bahan kimia yang bersifat carcinogenik.

b. Identifikasi tanda dan gejala yang dialami: sakit kepala, muntah dan penurunan penglihatan atau penglihatan double.

c. Identifikasi adanya perubahan perilaku klien.

d.Observasi adanya hemiparase atau hemiplegi.

e. Perubahan pada sensasi: hyperesthesia, paresthesia.

f. Observasi adanya perubahan sensori: asteregnosis (tidak mampu merasakan benda tajam), agnosia (tidak mampu mengenal objek pada umumnya), apraxia (tidak mampu menggunakan alat dengan baik), agraphia (tidak mampu menulis).

g. Observasi tingkat kesadran dan tanda vital.

h. Observasi keadaan keseimbangan cairan dan elektrolit.

i. Psikososial: perubahan kepribadian dan perilaku, kesulitan mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.

j. Laboratorium:
1) Jika tidak ada kontraindikasi: lumbal puncti.
2) Fungsi endokrin

k. Radiografi:
1) CT scan.
2) Electroencephalogram
3) Rontgen paru dan organ lain umtuk mencari adanya metastase.


2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.

b. Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.

c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan mengenal informasi.


3. Rencana Tindakan Keperawatan
- Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.
Data penunjang: peruabahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon sensorik/motorik, gelisah, perubahan tanda vital.

Kriteria hasil: Tingkat kesadaran stabil atau ada perbaikan, tidak adan tanda – tanda peningaktan TIK.

Intervensi & Rasional
1. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar.

R/ Mengkaji adanya perubahan pada tingkat kesadran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan okasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

2. Pantau tanda vital tiap 4 jam.

R/ Normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah ke otak yang stabil. Kehilanagn autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal dan menyeluruh.

3. Pertahankan posisi netral atau posisi tengah, tinggikan kepala 200-300.

R/ Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.

4. Pantau ketat pemasukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan keadaan membran mukosa.

R/ Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.

5. Bantu pasien untuk menghindari/membatasi batuk, muntah, pengeluaran feses yang dipaksakan/mengejan.

R/ Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intra toraks dan intra abdomen yang dapat meningkatkan TIK.

6. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.

R/ Petunjuk non verbal ini mengindikasikan adanya penekanan TIK atau menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal.


- Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.
Data penunjang: klien mengatakan nyeri, pucat pada wajah, gelisah, perilaku tidak terarah/hati – hati, insomnia, perubahan pola tidur.

Kriteria hasil: Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, klien menunjukkan perilaku untuk mengurangi kekambuhan.

Intervensi & Rasional
1. Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang memperburuk dan meredakan.

R/ Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.

2. Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah, menangis/meringis, perubahan tanda vital.

R/ Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung yang dialami.

3. Instruksikan pasien/keluarga untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri timbul.

R/ Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat mengurangi beratnya serangan.

4. Berikan kompres dingin pada kepala.

R/ Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.


- Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan mengenal informasi.
Data penunjang: Klien dan keluarga meminta informasi, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku yang tidak tepat.

Kriteria hasil: Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan pengobatan, memulai perubahan perilaku yang tepat.

Intervensi & Rasional
1. Diskusikan etiologi individual dari sakit kepala bila diketahui.

R/ Mempengaruhi pemilihan terhadap penanganan dan berkembnag ke arah proses penyembuhan.

2. Bantu pasien dalam mengidentifikasikan kemungkinan faktor predisposisi.

R/ Menghindari/membatasi faktor-faktor yang sering kali dapat mencegah berulangnya serangan.

3. Diskusikan mengenai pentingnya posisi/letak tubuh yang normal.

R/ Menurunkan regangan pada otot daerah leher dan lengan dan dapat menghilangkan ketegangan dari tubuh dengan sangat berarti.

4. Diskusikan tentang obat dan efek sampingnya.

R/ Pasien mungkin menjadi sangat ketergantungan terhadap obat dan tidak mengenali bentuk terapi yang lain.

Selengkapnya...

Saturday, March 14, 2009

Stevens-Johnson Syndrome

1 comments

Baru-baru ini aku sering liat berita mengenai Nita (22), seorang pasien asal Blitar yang wajahnya melepuh akibat alergi obat. Nita mulai dirawat di RSSA Malang sejak awal pekan lalu karena diduga sebagai korban malpraktik dokter. Namun dari hasil observasi medis diketahui kalau ternyata Nita terkena Stevens-Johnson Syndrome, sejenis penyakit sebagai dampak dari alergi obat.

Apakah Stevens-Johnson Syndrome itu?
Stevens-Johnson Syndrome atau yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Stevens-Johnson Syndrome pertama kali ditemukan oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson pada tahun 1922. Namun ketika itu kedua dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.

Apa Penyebab SJS?
Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (sulfa dan penisilin), antikejang (fenitoin) dan antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (ibuprofen). Reaksi ini dialami segera setelah mulai minum obat, biasanya dalam 2-3 minggu.

Apa Gejala SJS?
Gejala SJS biasanya dimulai dengan demam, sakit kepala, batuk dan pegal yang dapat berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, seringkali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh di tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah lepas bila digosok.

Siapa Saja yang Dapat Mengalami SJS?
SJS dapat mengenai orang dari semua umur, tetapi anak dan perempuan biasanya lebih rentan.

Resiko SJS
SJS adalah reaksi yang gawat, bila tidak diobati dengan baik dapat menyebabkan kematian. Tetapi hal ini dapat dicegah dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi semakin parah.

Terapi SJS
Yang pertama harus dilakukan adalah segera menghentikan pemakaian obat yang dicurigai sebagai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah pemburukan.

Belum ada obat yang spesifik untuk pasien SJS. Kompres saline atau Burrow solution untuk menutupi bagian kulit yang terbuka. Alternatif lain adalah calamine lotion. Sementara beberapa ahli ada yang meresepkan cyclophosphamide, plasmapheresis, hemodialysis, ciclosporin, dan thalidomide.

Pasien dengan SJS harus dirawat inap, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS membutuhkan pendekatan tim yang melibatkan dokter spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cair dengan kalori tinggi harus diberikan untuk mendorong cepatnya pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah sepsis. Obat antinyeri seperti morfin juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.


Yang perlu diingat juga, bila penyakit ini sampai mengenai mata, maka bisa terjadi kebutaan. Jadi, kenalilah gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang ke depannya nanti dapat sangat mempengaruhi penderitanya.
Selengkapnya...

Sunday, March 8, 2009

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIABETES MELITUS

5 comments

1. Pengertian

Diabetes melitus adalah gejala-gejala atau sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai insulin dengan kebutuhan tubuh.(M.black 1997).

Diabetes melitus adalah gangguan metabolik kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol, yang dikarekteristikkan dengan hiperglikemi karena defisiensi insulin.(Barbara Engram,1996).

Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.(Suzanne C, Smeltzer, 1997).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan menurunnya kadar gula didalam sel yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai insulin dengan kebutuhan tubuh.(Polaski,1996).

Dari beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa diabetes melitus adalah suatu penyakit atau sindroma yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai insulin dengan kebutuhan tubuh.


2. Patofisiologi

a. Etiologi

1) Kelainan fungsi dan jumlah sel beta

Kelainan disini dimana fungsi dan jumlah sel beta yang menurun sehingga insulin tidak dapat diproduksi secara optimal.

2) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ini meliputi diet, obesitas, kehamilan.

3) Herediter


b. Manifestasi Klinik

Gejala utama yang sering dijumpai pada diabetes melitus adalah :

1) Poliuri

2) Polidipsi

3) Badan terasa lemas.

4) Penurunan berat badan

5) Baal dan kesemutan pada ekstemitas bawah

6) Gatal-gatal

7) Luka yang sukar sembuh

8) Pandangan kabur

9) Impotensi dan asidosis metabolik


c. Proses Penyakit

Proses perjalanan penyakit diabetes melitus diawali dengan defisiensi insulin sehingga fungsi untuk menghantarkan gula darah dari ektra sel ke intra sel menjadi tidak adekuat. Hal ini menyebabkan sel kelaparan dan menimbulkan rasa lapar yang berlebihan atau yang disebut dengan polipagi.

Untuk memenuhi kebutuhan energi dalam tubuh maka hati/hepar akan membakar lemak (lipolisis) dan protein yang nantinya menghasilkan benda keton (ketogenesis) didalam darah (ketonemia), bila tidak diatasi akan mengakibatkan ketosis yang pada akhirnya menimbulkan asidosis metabolik.

Defisiensi insulin juga menimbulkan peningkatan glukosa didalam darah (hioperglikemi), hal ini menimbulkan kekakuan pada pembuluh darah sehingga menghambat difusi nutrisi dan oksigen ke sel. Selain itu hiperglikemia juga dapat menimbulkan glukosuria atau terdapatnya glukosa didalam urine yang dikarenakan ketidakmampuan daya tampung ginjal sehingga cairan dan elektrolit didalam sel akan berpindah ke ekstra sel yang pada akhirnya sel mengalami dehidrasi dan ketidakseimbangan cairan dan elektrrolit. Paa tahap dehidrasi terjadi hiperosmolaritas yang akhirnya tubuh memberi respon rasa haus (polidipsi).


d. Klasifikasi

1) Tipe I : IDDM (Insulin Dependend Diabetes Melitus)

IDDM merupakan tipe DM yang tergantung pada insulin karena tidak adanya produksi insulin di dalam tubuh. Biasanya disebabkan oleh kerusakan pankreas akibat dari genetik, infeksi dan respon autoimun.

2) Tipe II : NIDDM (Non Insulin Dependend Diabetes Melitus)

NIDDM merupakan tipe DM yang tidak tergantung pada insulin karena tubuh masih dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang sedikit. Karakteristik untuk diabetes melitus tipe II adalah biasa disebut dengan Adult diabetes, usia serangan biasanya setelah usia 30 tahun keatas, tipe serangan atau muncul gejala tersembunyi, produksi insulin kurang dari normal, normal atau lebih, insiden sekitar 85 – 90 %, kemungkinan terjadi ketosis minimal, insulin diperlukan pada 20 –30 % pasien, biasanya karena kegemukan dan herediter, penatalaksanaan dengan pengaturan diet, olahraga, OHO, dan atau insulin.


e. Komplikasi

Adapun komplikasi yang terjadi pada klien dibetes melitus adalah :

1) Komplikasi akut

a) Hipoglikemia

Suatu keadaan dimana kadar gula darah <>

b) Hiperglikemia

Suatu keadaan dimana kadar gula darah > 120 mg/dl, hal ini disebabkan asupan nutrisi yang berlebihan.

c) Ketoasidosis

Keadaan dimana terjadi peningkatan keasaman tubuh oleh keton.


2) Komplikasi kronik

a) Penyakit makrovaskuler, mempengaruhi pembuluh darah koroner, vaskularisasi perifer dan sirkulasi serebrovaskuler,misalnya makroangiopati pada pembuluh darah perifer sehingga bila luka sukar sembuh, hipertensi akibat peningkatan viskositas dan penurunan elastisitas pembuluh darah.

b) Penyakit mikrovaskuler, mikro angiopati pada mata menyebabkan retinopathy, pada ginjal menyebabkan nefropathy dan bila berlanjut menyebabkan gagal ginjal

c) Penyakit neuropati syaraf sensori motorik otonum serta mengakibatkan timbulnya impotensi , baal atau kesemutan.


3. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama pengobatan adalah untuk menormalkan atau mengontrol kadar gula didalam darah, meliputi 5 komponen yaitu :

a. Diet

Diet untuk mengotrol berat badan adalah dasar dalam pelaksanaan pengontrolan gula darah pada penyakit DM.

1) Intake Kalori

Langkah awal dengan menentukan kebutuhan kalori dasar dengan mempertimbangkan usia, jenis kelamin dan berat badan.

2) Distribusi kalori

Pemberian kalori difokuskan pada jumlah harian dari karbohidrat, protein dan lemak.

b. Exercise

Latihan fisik dapat mempermudah transportasi glukosa kedalam sel karena kerja insulin meningkat dan menurunkan kadar gula dalam darah.

c. Monitor kadar gula darah

d. Pengobatan

Pengobatan pada tipe I (IDDM) hanya dengan menambah insulin dari luar karena tubuh gagal memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup. Pada tipe II (NIDDM) dilakukan dengan pemberian obat untuk jangka panjang atau pendek, pengaturan diet serta pemberian insulin.

e. Pendidikan kesehatan

Informasi yang harus disampaikan yaitu meliputi pengertian DM, penyebab, tanda dan gejala, akibat lanjut, pengobatan serta perawatan.


4. Asuhan Keperawatan

I. Pengkajian

Pengkajian adalah suatu pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data sekaligus sebagai tahap awal dari proses keperawatan. Cara yang digunakan dalam pengkajian yaitu : wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi.

Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah sebagai berikut:

a. Identitas pasien

b. Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat keturunan dan kegemukan

c. Riwayat kesehatan sekarang

1) Subyektif : Keluhan 3 P (polipagi, polidipsi, dan poliuri, riwayat pengobatan, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit infeksi pankreatitis), stres, intake makanan yang berlebihan.

2) Kardiovaskuler : pusing, palpitasi, perubahan tekanan darah dan nadi.

3) Status mental : cemas, takut, gelisah

4) Pernapasan : perubahan frekuensi, kedalaman napas, napas berbau keton.

5) Integumen : perubahan turgor kulit, suhu dan warna kulit

6) Gastrointestinal : polipagi, polidipsi, mual, muntah dan penurunan berat badan.

7) Metabolik : peningkatan kadar gula darah

8) Perkemihan : poliuri, glukosuria

9) Neuromuskulair : tremor, sakit kepala, lemas, gangguan pengelihatan, perubahan tingkat kesadaran, kekakuan otot/baal.

10) Status cairan : intake output, turgor kulit, kelembaban mukosa.

11) Pola aktivitas : kelemahan tubuh, cepat lelah,rasa baal da kesemutan.

d. Tes diagnostik.

1) Serum elektrolit ( Na,k,CL)

2) Glukosa darah meningkat

3) BUN (Blood Ureum Nitrogen) dan creatinin : untuk mengetahui kondisi ginjal.

4) Ph dan PCO2 : mengetahui adanya diabetik ketoasidosis.


II. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan data status kesehatan, diagnosa yang sering muncul pada pasien dengan diabetes melitus menurut Doengoes 1999 adalah :

a. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin, anoreksia.

b. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan diuresis osmotik, poliuri, intake inadekuat.

c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan defisiensi insulin

d. Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

e. Resiko infeksi / penyebaran berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan peningkatan kadar glukosa, adanya ulkus.

f. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan kurang informasi.


III. Perencanaan

a. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin, anoreksia.

Tujuan : Nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil : Mual berkuarng, tidak ada muntah, nafsu makan baik, terjadi peningkatan berat badan, tidak ada polipagi, kojungtiva ananemis, gula darah dalam batas normal, tidak ditemukan tanda-tanda hipoglikemi.

Intervensi :

1) Kaji intake makanan yang masuk,

R/ mengetahui keadekuatan intake nutrisi

2) Timbang BB secara rutin,

R/ mengidentifikasi adanya penurunan BB terkait dengan intake nutrisi

3) Monitor kadar gula darah,

R/ mengetahui penurunan atau peningkatan kadar gula darah akibat penggantian cairan atau terapi insulin

4) Observasi tanda-tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, nadi cepat, sakit kepala, gemetar),

R/ karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi( gula darah akan berkurang, dan sementara tetap diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi)

5) Libatkan keluarga dalam memotivasi klien untuk mau makan

R/ meningkatkan rasa keterlibatannya ; memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi klien.

6) Kolaborasi dalam pemberian antiemetik dan pemeriksaan gula darah.

R/ anti emetik berfungsi untuk menghilangkan rasa mual.


b. Gangguan volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik, poliuri, intake inadekuat.

Tujuan : Kebutuhan cairan terpenuhi

Kriteria hasil : Turgor kulit elastis, mukosa bibir lembab, tidak ada poli uri, polipagi dan polidipsi, tanda-tanda vital dalam batas normal, kebutuhan cairan terpenuhi, kesadaran komposmentis, serum elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :

1) Observasi status cairan,

R/ mengetahui kondisi cairan dalam tubuh dan memperkirakan kekurangan volume total

2) Observasi tanda- tanda vital tiap 4 jam,

R/ hipovolemik dapat dimanifestasikan dengan hipotensi dan tachicardi

3) Kaji adanya perubahan mental/sensori,

R/ perubahan mental dapat berhubungan dengan glukosa yang tinggi atau rendah, elektrolit yang abnormal, asidosis, penurunan perfusi cerebral dan hipoksia

4) Ukur intake dan output

R/ memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal dan keefektifan dari terapi yang diberikan

5) Ukur berat badan tiap hari

R/ memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dlam memberikan cairan pengganti.

6) Kaji pengisian kapiler, turgor kulit dan , membran mukosa.

R/ merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.

7) Pantau pemeriksaan lab seperti Ht, Na, Kalium, CL, BUN, creatinin,

R/mengkaji tingkat hidrasi dan adanya kerusakan fungsi ginjal

8) Pertahankan jumlah intake cairan sesuai dengan berat badan.

R/ mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.


c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan defisiensi insulin

Tujuan : Persepsi sensori baik

Kriteria hasil : Keadaan umum baik, kesadaran komposmentis, tanda-tanda vital dalam batas normal, adanya respon sensori yang baik serta mengenali lingkungan.

Intervensi :

1) Kaji tanda-tanda vital, kaji ststus mental.

R/ sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal seperti suhu yang menigkat dapat mempengaruhi fungsi mental.

2) Kaji adanya kehilangan sensori kaki seperti kesemutan atau baal,

R/ neuropati perifer dapat menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat , kehilangan sensasi sentuhan atau distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.

3) Kaji lapang pandang klien.

R/ retinopati dapat menggangu pengelihathan yang memerlukan terapi korektif

4) Bantu klien dalam ambulasi,

R/ meningkatkan keamanan klien terutama ketika rasa keseimbangan dipengaruhi

5) Pantau nilai laboratorium seperti Hb,Ht, Gula darah, creatinin.

R/ Ketidakseimbangan nilai laboratorium ini dapadt menurunkan status mental.


d. Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan : Tidak terdapat kelemahan fisik

Kriteria hasil : Keadaan umum baik, kesadaran komposmentis, Tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak ada kelemahan, dapat melakukan aktivitas secara mandiri, gula darah dalam batas normal

Intervensi :

1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas klien

R/ mengetahui kemampuan klien dalam beraktifitas terkait dengan jenis bantuan yang diberikan

2) Support aktivitas klien secara aktif dan pasif dengan melibatkan keluiarga

R/ Keterlibatan keluarga dalam memotivasi klien dapat membantu klien untuk meningkatkan rasa percaya diri

3) Observasi tanda-tanda vital sebelum dan seseudah beraktifitas

R/ mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis

4) Memberikan bantuan sesuai kebutuhan

R/ membantu memandirikan klien


e. Resiko infeksi berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan peningkatan kadar glukosa.

Tujuan : Infeksi tidak terjadi

Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, leukosit dalam batas normal.

Intervensi :

1) Observasi tanda-tanda vital

R/ adanya proses infeksi akan berpengaruh terhadap peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi

2) Kaji tanda- tanda infeksi dan peradangan seperti demam, kemerahan, adanya pus pada luka

R/ adanya tanda infeksi yang terdeteksi lebih dini dapat menghindarkan proses penyebaran infeksi

3) Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invasif

R/ kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme

4) Kolaborasi dalam pemberian terapi antibiotika dan pemeriksaan laboratorium

R/ penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis


f. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan kurang informasi.

Tujuan : Pengetahuan klien bertambah

Kriteria hasil : Klien dapat mengetahui tentang penyakitnya serta cara pengobatan dan perawatan, klien dapat berprilaku sehat dan berpartisipasi dalam pengobatan

Intervensi :

1) Kaji tingkat pendidikan dan pengetahuan klien tentang DM

R/ mengetahui sejauh mana informasi yang telah didapat klien terkait dengan jenis penyuluhan yang akan diberikan dan metodee penyuluhan

2) Berikan penkes tentang : pengertian, penyebab, tanda dan gejala, akibat lanjut pengobatan dan diet yang ditentukan

R/ memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang penyakit DM dan ppengaturan diet dan diharapkan akan terjadi perubahan perilaku

3) Libatkan keluarga dalam perawatan klien

R/ Keterlibatan keluarga akan memotivasi klien

4) Tanyakan hal yang belum dimengerti

R/ mengevaluasi hasil penyuluhan

5) Beri reinforcement positif atas jawaban klien yang sesuai

R/ meningkatkan harga diri


I V. Evaluasi

a. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin, anoreksia teratasi dengan tidak ditemukannya mual, muntah, polipagi.

b. Gangguan volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik, poliuri teratasi dengan tidak ditemukan adanya poliuri, tanda-tanda dehidrasi tidak ditemukan, TTV dalam batas normal.

c. Perubahan persepsi sensori teratasi.

d. Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik teratasi.

e. Resiko infeksi / penyebaran berhubungan dengan perubahan sirkulasi tidak terjadi, adanya ulkus.

f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi teratasi.

Selengkapnya...

Wednesday, March 4, 2009

TEKNIK PRESENTASI

0 comments

Berikut adalah beberapa tips bagi kita saat akan melakukan presentasi


Apa tujuan kita presentasi

Sekedar untuk kita ketahui, pada dasarnya presentasi itu bertujuan untuk:

a. To Inform: memberikan informasi baru atau tambahan tentang suatu tema atau topik.

b. To Persuade: membentuk atau mengubah sikap audiens tentang suatu objek.

c. To Mobilize: meminta audiens untuk melakukan sesuatu setelah mendengarkan presentasi kamu. Ini mencakup to inform and to persuade.


Sebelum presentasi buatlah kerangkanya.

Mempertimbangkan isi presentasi yang perlu dipresentasikan.

Memungkinkan kita mengorganisir dan mengurutkan isi presentasi.


Sebagai presenter perlu mempertimbangkan isi agar mudah untuk memulai.


PERHATIKAN 5 W (why, who, what, when, where) dan 1H (how)


Why
Mengapa kamu harus presentasi (saya yakin, kamu tahu jawabannya). Saya hanya ingin sampaikan bahwa: “lihatlah bahwa kamu sedang belajar, audiens juga belajar, maka yakinkan dalam diri kamu bahwa tidak ada orang yang lebih hebat dari kamu dalam ruangan itu”. Tarik nafas dalam, dan nikmati waktu kamu presentasi sebagai media aktualisasi diri kamu.


Who
Siapa kamu dan siapa mereka, seperti yang saya sampaikan bahwa semua sedang belajar, penguji sekalipun, beliau sedang belajar untuk menjadi penguji yang baik, untuk menjadi penguji yang bijak, untuk menjadi penguji yang dapat memahami kamu. Jadi jangan pernah takut…. Semua sedang BELAJAR.


What
Apa yang akan kamu presentasikan, tanamkan kepercayaan dalam diri kamu bahwa hal apapun yang kamu presentasikan adalah sesuatu yang sangat kamu pahami isi dan alurnya.


When
Waktu kamu presentasi adalah saat-saat dimana kamu sedang menunjukkan SIAPA kamu sebenarnya.
Katakan pada diri kamu:
“Saya juga bisa berbicara, menjelaskan serta menjabarkan apa yang telah saya siapkan, saya sama hebatnya dengan anda, bahkan dalam hal ini saya dapat melebihi anda”.


Where
Jadikan tempat kamu presentasi adalah kamar kedua kamu, saya percaya kamu merasakan rileksnya suasana di kamar utama kamu, dan suasana itu tak berbeda dengan kamar kedua kamu.


How

- Bagaimana kamu presentasi…..

- Pernahkah kamu memperhatikan pada VJ yang sedang melepaskan kata-kata di depan kamera….. Ya…. Di depan kamera dan itu akan dilihat oleh lebih banyak orang di luar sana.

- Perhatikan … mereka sangat menikmati saat-saat mereka mengaktualisasikan diri mereka.

- Percaya dan yakinlah kamu bisa seperti mereka, bahkan lebih baik lagi.


Tidak ada hal yang buruk akan terjadi, selama kamu percaya pada kemampuan yang telah diberikan Allah SWT dalam diri kamu!


Ketahuilah

Kesuksesan adalah pertemuan antara persiapan yang matang dan kesempatan yang dimanfaatkan..!


Mengunakan Keterampilan Fasilitas

Tipe keterampilan fasilitas

Memperhatikan

- Secara fisik memperhatikan audiens, membangun pendekatan pada audiens, menilai audiens sebagai manusia belajar dan berminat kepada mereka.

- Membantu mendapatkan informasi dari audiens: observasi tingkah laku mereka, apakah gaya presentasi dapat meningkatkan perhatian mereka pada isi atau apa yang sedang kamu sampaikan.


Empat perilaku memperhatikan:

- Melihat/memandang pada audiens.

- Mempertahankan kontak mata yang tepat.

- Bergerak kearah audiens.

- Menghindari perilaku yang mengganggu (ex. menggaruk, membetulkan pakaian).


Mengobservasi

- Lihat wajah, posisi tubuh, dan gerak tubuh audiens.

- Mendefinisikan perasaan audiens berdasarkan observasi kamu.

- Melakukan tindakan yang tepat berdasarkan tafsiran kamu.

Mendengarkan

- Mendengarkan perkataan yang diekspresikan.

- Melakukan parafrase yang dikatakan untuk memperlihatkan pemahaman. (kita dapat mengatakan: “ maaf bapak mengatakan bahwa…………, atau “menurut pengertian saya…………..”).


Alat bantu visual yang digunakan dalam presentasi

Bertujuan untuk:

1. Memfokuskan perhatian pada topik yang disampaikan.

2. Meningkatkan daya tarik pada topik yang dipresentasikan.

3. Meningkatkan daya tahan materi presentasi pada ingatan audiens (karena menggunakan lebih dari satu indera).


Hal yang perlu diperhatikan dalam menulis slide

Besar huruf:

Jika mengunakan program ms.powerpoint.

Tema : 36 atau 40. sedang isi minimal 28.

Jika mengunakan ms.word

Tema : 26 – 28. sedang isi minimal 20.

Satu slide isi 8 sampai dengan 12 baris maksimal.

Maksimal 3 warna, jika mengunakan merah hanya untuk tanda, misal tanda panah.


Hal yang diperhatikan dalam mengunakan slide transparans

Cek letak transparan sebelum ditayangkan.

Sebaiknya mengunakan pointers penunjuk.

Menutup sebagian tampilan.

Urutan slide transparans ---- penomeran.

Ukuran slide transparans --- sesuaikan dengan monitor OHP.

Penghematan transparans.

Perhatikan kesesuaian isi transparans dengan uraian verbal.


Hal yang penting dilakukan agar rileks saat presentasi

- LATIHAN. Untuk mencek waktu penyajian (15-20 menit), dan mengunakan media dengan baik ---- ms.powerpoint atau slide transparans.

- Hapalkan kata-kata awal --- one theme one message.

- Periksa materi, dan kata-kata dalam materi presentasi.

- Antisipasi masalah potensial dan siapkan jawaban. (segera jelajahi tulisan kamu, temukan celahnya dan cari penutup celah tersebut).

- Istirahat yang cukup. (6 – 8 jam sebelum presentasi)

- Kenakan baju yang nyaman dan rapi.

- Berpakaianlah seperti seolah-olah kamu akan memandu sebuah acara penting.

- Coba menjadi audiens.

- Ambil nafas panjang

- Gunakan gaya kamu

- Terima stress sebagai sumber energi psikologis ---- the power for mind.


PERCAYA DIRI adalah KUNCINYA


Tips menjawab

Dengarkan baik-baik, apakah:

- Hanya minta penjelasan.

- Betul-betul bertanya.

- Mengetes kamu.

- Hanya komentar…. (ucapkan “terima kasih bapak/ibu telah menelaah dengan teliti tulisan saya”).

- Berputar-putar…., sebaiknya dengarkan dulu, setelah itu bisa klarifikasi pertanyaan.

- Tidak relevan…. Boleh katakan: “maaf tulisan saya ini hanya dalam lingkup masalah……..”

- Memerlukan ahli yang bersangkutan untuk menjawab.


Jawab pertanyaan dengan singkat. Usahakan respon yang kamu berikan di tunjang oleh sumber rujukan yang relevan.


Sampaikan jawaban dengan bahasa lugas kamu. Tunjukkan bahwa kamu yakin dengan jawaban yang kamu berikan.

Selengkapnya...

 

dez's blog Copyright © 2008 D'Black by Ipiet's Blogger Template